Model Kebijakan Berkelanjutan Integrative Pro-Miskin Dan Pro-Desa Tertinggal Di Kawasan Sentra Pertanian
Essay by people • January 1, 2012 • Research Paper • 1,827 Words (8 Pages) • 2,038 Views
Essay Preview: Model Kebijakan Berkelanjutan Integrative Pro-Miskin Dan Pro-Desa Tertinggal Di Kawasan Sentra Pertanian
MODEL KEBIJAKAN BERKELANJUTAN INTEGRATIF
PRO-MISKIN DAN PRO-DESA TERTINGGAL
DI KAWASAN SENTRA PERTANIAN
(Kajian di Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan)
Latar Belakang
Kebijakan otonomi daerah mengandung hakekat kemandirian daerah dalam melakukan penggalian sumber-sumber potensial daerah sebagai upaya lebih aspiratif dalam melaksanakan pembangunan dan pelayanan publik. Namun, kebijakan ini belum bisa memberi manfaat bagi Kabupaten Barito Kuala. Kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan hanya terjadi pada sektor pertanian, namun sangat lambat terjadi pada sektor-sektor lain. PAD dan APBD sangat rendah dibandingkan cakupan yang harus dikeluarkan dalam belanja rutin dan belanja pembangunan. Hal ini terbukti dengan Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal nomor : 001/KPTS/M.PDT/II/2005, Kabupaten Barito Kuala ditetapkan sebagai salah satu Daerah Tertinggal di Indonesia. Dari 17 Kecamatan dan 200 desa/kelurahan, 108 desa tertinggal atau 54% dan tersebar di seluruh kecamatan.
Kabupaten Barito Kuala sangat potensial pada sektor pertanian. Berdasar data tahun 2008, luas lahan yang telah dipergunakan 220.946 ha dengan produksi padi 336.062 ton dengan rata-rata produksi 35,1 Kw/ha (BPS Kabupaten Barito Kuala, 2009). Sehingga menjadikan Kabupaten Barito Kuala sebagai sentra produksi padi di Provinsi Kalimantan Selatan. Namun secara empiris, pertumbuhan ini tidak memberikan efek kepada masyarakat dan pertumbuhan kawasan.
Berdasar data seri Tahun 2004-2008, secara keseluruhan Indeks Pembangunan Manusia terus meningkat hingga 65,2 pada Tahun 2008, akan tetapi apabila dibandingkan dengan IPM 13 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan, IPM Kabupaten Barito Kuala urutan ke 12 dari 13 kabupaten/kota.
Berdasar data Tahun 2008 masih banyak persoalan sosial yang segera dituntaskan pemerintah, seperti pengangguran 28%; tingkat pendidikan rendah dengan rata-rata lulus SLTP kelas 1; angka partisipasi kasar dan angka partisipasi murni pada tingkat SMA sangat rendah (APK 33,65 dan APM 23,05); 8.119 keluarga Pra KS; 1.600 orang anak terlantar; 663 anak balita terlantar; 2.708 wanita rawan sosial ekonomi; 3.869 keluarga berumah tidak layak huni (BPS Kabupaten Barito Kuala, 2009; BPS Kalimantan Selatan, 2009).
Berdasarkan data tersebut di atas, dapat dikategorikan dalam dua persoalan utama yang kini sedang terjadi di Kabupaten Barito Kuala. Pertama adalah persoalan kemiskinan dan kedua adalah persoalan desa tertinggal. Hal utama yang perlu dikaji adalah keterkaitan pertumbuhan sektor pertanian dengan pengurangan kemiskinan. Mengingat karakteristik dan potensi wilayah Kabupaten Barito Kuala di bidang pertanian (termasuk peternakan dan perikanan) maka perlu dipahami efek pertumbuhan sektor-sektor tersebut terhadap pengurangan kemiskinan, karena juga sebagian besar masyarakat bekerja sebagai/atau terkait dengan pertanian.
Relevansi Pertumbuhan dengan pengurangan kemiskinan masih menyisakan banyak pertanyaan. Kajian Chhibber (2008) menunjukkan beragam ketidakpastian tentang hubungan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah kemiskinan. Fakta yang diperoleh pada tahun 1990-an, penurunan jumlah kemiskinan pada pertumbuhan yang lambat di Brazil, sementara di Argentina terjadi sebaliknya, dengan pertumbuhan yang cepat justru terjadi peningkatan jumlah kemiskinan. Dengan menemukan beberapa faktor yang menentukan hubungan pertumbuhan dengan pengurangan kemiskinan, Chhibber membawa konsep efek tetesan kebawah menjadi sebuap konsep pertumbuhan pro-miskin.
Dengan keterbatasan PAD dan APBD, memerlukan alokasi belanja yang terintegrasi antara anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten dalam menangani persoalan desa tertinggal dan kemiskinan. Kajian Brautigam (2004) telah menunjukkan pentingnya dukungan anggaran belanja pemerintah pro-miskin. Namun, masih banyak persoalan dilematis kebijakan publik pro-miskin dilihat dari anggaran atau belanja pemerintah pro-miskin.
Pendekatan kemitraan sangat memungkinkan dalam semangat zaman seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Dimensi keberlanjutan hanya bisa terjadi dalam ikatan sosial antar pihak-pihak berkepentingan. Kolobarasi teori stakeholder dan teori modal sosial akan membentuk sebuah kemitraan antar pihak-pihak berkepentingan dalam pembangunan desa tertinggal dan kebijakan pro-miskin.
Rumusan Penelitian
Dari fakta empiris yang menjadi persoalan di Kabupaten Barito Kuala, maka kesimpulan tentatif dapat diketahui bahwa apa yang terjadi sekarang ini merupakan sebuah kebijakan yang masih belum tepat, sehingga diperlukan sebuah kebijakan yang efektif mampu mengangkat desa tertinggal dan pengurangan angka kemiskinan.
Dengan itu, maka rumusan penelitian ini adalah bagaimana model kebijakan berkelanjutan integratif pro-miskin dan pro-desa tertinggal berbasis pertumbuhan pertanian dan modal sosial stakeholder berdasarkan klasifikasi level kebijakan induk, level kebijakan inti, dan level kebijakan pendukung?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dengan sekuensial tiga tahap ini adalah untuk membangun model kebijakan berkelanjutan integratif pro-miskin dan pro-desa tertinggal berbasis pertumbuhan pertanian dan modal sosial stakeholder berdasarkan klasifikasi level kebijakan induk, level kebijakan inti, dan level kebijakan pendukung, dengan rincian tahapan sebagai berikut:
1. Tahap kualitatif sebagai urutan pertama dalam mengeksplorasi fenomena kebijakan pro-miskin dan kebijakan pro-desa tertinggal, pertumbuhan pertanian dan efek yang ditimbulkannya terkait rumah tangga miskin dan desa tertinggal, fenomena modal sosial stakeholder yang terkandung dalam proses kebijakan, fenomena berkelanjutan dan integratif dari setiap level kebijakan. Dengan pengumpulan data secara kualitatif ini, akan diperoleh variabel-variabel dan pengukurannya berdasarkan data kontekstual karakteristik rumah tangga miskin dan desa tertinggal di kawasan sentra pertanian Kabupaten Barito Kuala. Alasan dikumpulkannya data kualitatif lebih awal dalam penentuan variabel-variabel dan pengukurannya sebagai cara pandang memperdulikan aspek aspiratif (pro-miskin dan pro-desa tertinggal) atau proses pembangunan buttom up, sehingga pengukuran berdasarkan dimensi modal sosial stakeholder (tak terpisahkan) antara pelaku dan kelompok sasaran pembangunan;
2. Tahap kuantitatif sebagai urutan kedua melakukan uji hipotesa yang telah dibentuk berdasarkan data eksploratif kualitatif urutan pertama, untuk menemukan kecocokan model kebijakan berkelanjutan integratif. Bentuk uji hipotesa, dimulai dengan uji hubungan dan pengaruh sederhana, uji hubungan dan pengaruh parsial, uji hubungan dan
...
...