Teknologi Dan Perubahan Sosial: Suatu "antropologi Teknologi" Mengenai Jala-Jala Listrik Pln (indonesian)
Essay by people • August 23, 2011 • Research Paper • 3,276 Words (14 Pages) • 2,732 Views
Essay Preview: Teknologi Dan Perubahan Sosial: Suatu "antropologi Teknologi" Mengenai Jala-Jala Listrik Pln (indonesian)
Teknologi dan Perubahan Sosial: Suatu "Antropologi Teknologi" Mengenai Jala-Jala Listrik PLN
Sugeng Prakoso Syahrie
Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta
Abstrak
Artikel ini mendiskusikan perihal masuknya teknologi listrik ke suatu masyarakat perdesaan yang berimplikasi pada munculnya perubahan sosial dalam tatanan kehidupan masyarakat setempat. Kasus yang dipaparkan secara etnografis ini kemudian ditinjau melalui perspektif studi science, technology, and society, khususnya perspektif actor network theory. Dengan perspektif itu, penulis artikel ini mempostulasikan bahwa perubahan sosial yang muncul dalam kasus ini adalah suatu "efek sosioteknis" sehingga tidak memadai bila dijelaskan semata-mata sebagai akibat dari introduksi teknologi baru (jala-jala listrik PLN). Perubahan itu harus dijelaskan dengan menelusuri terbentuknya jejaring (network) baru dalam masyarakat setempat, suatu jejaring heterogen yang mencakup baik elemen teknologi (entitas non-manusia), maupun elemen sosial dan kultural.
1. Pendahuluan
Bagi kebanyakan kita--apalagi yang hidup di perkotaan--listrik merupakan kebutuhan mendasar untuk menunjang kehidupan sehari-hari, seperti untuk penerangan, memasak, memompa air, hingga mencari hiburan dari radio atau televisi. Lebih dari itu, hampir semua akses informasi dan komunikasi saat ini pun membutuhkan bantuan energi listrik. Akibatnya, muncul ketergantungan terhadap energi listrik ini.
Tidak sebagaimana di kawasan perkotaan yang hampir setiap rumah pasti punya listrik, banyak wilayah perdesaan di Indonesia yang tidak dapat menikmati listrik. Ini disebabkan oleh letak dan faktor geologis pedesaan yang sulit dijangkau oleh jaringan listrik yang pembangkitnya berada jauh dari perdesaan. Kondisi itu memberi kita kesempatan untuk mengamati proses perubahan sosial di perdesaan berkaitan dengan kehadiran jaringan (jala-jala) listrik. Apakah juga terjadi efek ketergantungan sebagaimana di perkotaan, atau justru memunculkan fenomena lain yang menarik untuk dikaji dari perspektif--katakanlah--"antropologi teknologi".
Paparan berikut bercerita soal masuknya teknologi listrik ke perdesaan yang saya cuplik dari pengalaman pribadi saya (masa kanak dan remaja) pada dasawarasa 1980-an di sebuah desa di pinggiran Banyumas, sebuah kabupaten yang terletak di barat daya Provinsi Jawa Tengah. Paparan yang bersifat etnografis itu kemudian ditinjau melalui perspektif studi science, technology, and society (STS), khususnya perspektif actor network theory (ANT). Dengan perspektif itu, perubahan sosial yang muncul dalam kasus ini tidak dijelaskan semata-mata sebagai akibat dari introduksi teknologi, melainkan dari terbentuknya jejaring (network) baru dalam masyarakat setempat, yang mencakup baik elemen teknologi (baru), maupun elemen sosial dan kultural. Jejaring yang terbentuk secara heterogen itulah yang dipostulasikan dalam artikel ini sebagai penopang tampilnya teknologi (jala-jala listrik) sebagai aktor dalam pembentukan tatanan sosial baru di desa setempat.
2. Dari Lampu Teplok ke Generator
Lampu teplok dan petromak yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya adalah alat penerangan utama masyarakat desa itu. Petromak biasanya hanya dimiliki oleh orang berpunya yang biasanya adalah pegawai negeri sipil (PNS)--sebagian besar adalah guru di sekolah-sekolah desa--atau keturunan pendiri desa yang menguasai banyak lahan persawahan dan pekarangan. Sedangkan lampu teplok lazimnya menyala di rumah-rumah penduduk yang hidup sebagai petani penggarap. Hanya ada sangat sedikit profesi di luar PNS atau pemilik lahan serta petani penggarap.
Struktur ekonomi itu menciptakan pelapisan sosial yang menempatkan PNS dan pemilik lahan sebagai kaum elite desa dan para petani penggarap sebagai orang biasa dengan pola hubungan yang cenderung paternalistik. Pelapisan sosial ini tampak jelas bila dilihat dari pola spasial permukiman penduduknya. Rumah-rumah PNS atau pemilik lahan selalu berada di pinggir jalan utama desa, sedangkan rumah-rumah para petani penggarap selalu berada di bagian "pedalaman" yang sering kali berjarak cukup jauh dari jalan utama desa.
Pada awal 1980-an, beberapa elite desa pemilik lahan sekaligus PNS mampu membeli mesin diesel ukuran kecil yang bisa menghasilkan energi listrik. Itulah kali pertama bagi beberapa penduduk yang berkemampuan ekonomi, yakni pemilik lahan dan sebagian PNS, dapat menikmati listrik untuk penerangan dari jam 5 sore sampai 12 malam. Generator ini juga memungkinkan pemilik lahan yang hidup makmur untuk menikmati hiburan melalui kehadiran televisi di rumah mereka. Kedua bentuk teknologi ini membuat kedudukan sosial mereka makin kuat karena televisi menjadi daya tarik yang sangat kuat bagi banyak penduduk desa. Mereka berbondong-bondong datang ke rumah pemilik televisi setiap malam untuk menonton, dan pemilik televisi pun memfasilitasi mereka dengan ruang tamu yang luas yang dapat menampung puluhan orang.
3. Jala-Jala Listrik
Pada tahun 1984 Perusahaan Listrik Negara (PLN) memasang jaringan listrik dan langsung mengalirinya. Ini dimungkinkan berkat beroperasinya sebuah PLTA di kabupaten tetangga (Kebumen). Sebagaimana yang kita ketahui, sistem distribusi yang digunakan oleh PLN adalah sistem sentralisasi. Sistem ini menekankan pada penggunaan pembangkit listrik terpusat dan berskala besar. Pendistribusian energi listrik menggunakan jaringan listrik yang cukup panjang, mulai dari pembangkit listrik, gardu-gardu listrik sampai ke perumahan atau perkantoran atau industri. Apa yang kemudian tampak sehari-hari di pinggir jalan utama desa kami adalah tiang-tiang listrik yang terbuat dari beton cor yang menyalurkan energi listrik tegangan rendah dengan kapasitas 320/220 KV.
Hampir semua elite desa mendaftar sebagai pelanggan PLN. Situasi ini membuat para PNS yang sebelumnya harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk membayar biaya listrik dari pemilik generator, kini mereka dapat menikmati listrik dengan harga yang jauh lebih murah dan tidak terbatas waktunya. Namun demikian, bagi hampir seluruh petani penggarap, berlangganan listrik ke PLN tetap merupakan sesuatu yang sangat mahal. Harga listrik yang jauh lebih murah memungkinkan para PNS untuk juga membeli televisi--banyak di antaranya yang mampu membeli televisi berwarna 14 inchi yang dianggap sebagai barang mewah.
Walhasil, bukan hanya rumah para petani pemilik lahan yang kini dihiasi simbol-simbol status sosial tinggi berupa pesawat televisi serta perangkat
...
...